Parahyangan


Pulau Bali sering dijuluki dengan berbagai-bagai nama oleh wisatawan, di antaranya disebut "Bali, the island of the thousand temples" artinya Bali adalah pulau dengan ribuan buah pura. Kadangkala disebut pula dengan nama pulau dewata atau "the island of Gods" dari beberapa julukan lain yang menarik. Dalam kenyataan memang terlihat banyak pura di Bali dan tersebar di seluruh daerah Bali.

Adanya banyak pura di Bali bukan lah berarti umat Hindu di Indonesia menganut kepercayaan politeistik, melainkan tetap monoteistik karena yang di-stanakan di Pura itu adalah prabawa Hyang Widi sesuai dengan fungsinya.
Kata pura berasal dari kata Sanskerta yang berarti kota atau benteng, artinya tempat yang dibuat khusus dengan dipagari tembok untuk mengadakan kontak dengan kekuatan suci. Tempat khusus ini di Bali disebut dengan nama pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk pemujaan Hyang Widi beserta manifestasinya dan roh suci leluhur.
Berdasarkan bukti-bukti prasasti yang ditemukan di Bali, kata pura untuk menamai tempat suci belum ditemukan pada jaman Bali Kuna. Pada prasasti Turunyan AI tahun 891M disebutkan Sanghyang Turun-hyang artinya tempat suci di Turunyan. Demikian pula di dalam prasasti Pura Kehen A disebutkan pujaan kepada Hyang Karimana, Hyang Api, dan Hyang Tanda. Artinya tempat suci untuk Dewa Karimana, tempat suci untuk Dewa Api dan tempat suci untuk Dewa Tanda. Dan penjelasan prasasti tersebut diketahui bahwa pada jaman Bali Kuna yang berlangsung dari kurun waktu tahun 800 - 1343 M dipakai kata Hyang untuk menyebut tempat suci di Bali.

Pada jaman Bali Kuna dalam arti sebelum kedatangan Sri Kresna Kepakisan di Bali, istana raja disebut Kedaton atau Keraton. Sedangkan pada masa pemerintahan Sri Kresna Kepakisan terlihat sebutan istana raja bukan lagi disebut kedaton melainkan disebut pura seperti keraton Dalem di Gelgel Swecapura dan keratonnya di Klungkung disebut Smarapura. Rupa-rupanya menggunakan kata pura untuk menyebutkan suatu tempat suci dipakai setelah dinasti Dalem berkraton di Klungkung, di samping istilah Kahyangan masih dipakai.

Kendati pun sebagai tempat pemujaan Hyang Widi, tidak lah merupakan tempat yang permanen dari kekuatan suci, tetapi lebih bersifat sebagai persimpangan atau tempat tinggal sementara, di mana pada waktu hari ulangtahun pura, kekuatan suci akan datang menempati pelinggih- pelinggih yang sudah disediakan di dalam suatu pura. Ketika inilah diadakan kontak antara anggota masyarakat pengemongnya dengan kekuatan suci yang baru turun. Sebagai media menurunkan kekuatan suci tadi ialah pedanda atau pendeta dengan wedanya, selain berbagai-bagai jenis tarian dan upacara sebagai penyambutan turunnya kekuatan suci.

Tempat yang abadi dari para Dewa dan roh suci leluhur adalah di gunung, dalam hal ini gunung Maha meru dan kalau di Bali adalah Gunung Agung. Akhirnya timbul anggapan, gunung sebagai alam arwah dan juga sebagai alam para dewa. Anggapan akan adanya gunung suci dalam agama Hindu dapat disaksikan pada cerita-cerita kuna yang dikaitkan dengan gunung seperti ceritera pemutaran gunung Mandara di Ksirarnawa yang bertujuan untuk mencari Amerta atau air kehidupan. Ceritera yang kedua ialah ceritera Tantu Panggelaran yang mengisahkan pemindahan puncak Gunung Mandara ke Jawa Dwipa yang ketika itu masih dalam keadaan belum stabil. Kepercayaan gunung sebagai alam arwah telah ada jauh sebelum pengaruh Hindu datang ke Indonesia, yaitu pada jaman bercocoktanam dan perundagian. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya tempat pemujaan arwah leluhur yang berbentuk punden berundakundak yang diduga sebagai replika (bentuk tiruan) dari gunung, karena gunung pada masa itu dianggap sebagai alam arwah.

Ketika upacara sedang berlangsung umat akan merasa kehadiran yang Maha suci dan menimbulkan rasa sebagai kedatangan tamu suci yang dimuliakan. Timbul lah rasa untuk memberikan rasa bakti atau penghormatan setinggi-tingginya, guna mendapatkan anugrah-Nya, berupa kesejahteraan, perlindungan dan kebahagiaan hidupnya. Hal ini merupakan sumber yang menggetarkan jiwanya dan akhirnya menjadi sumber bangkitnya rasa estetika dari umat. Sebagai akibat rasa estetik lalu diikuti dengan ciptaan- ciptaan seninya dalam berbagai-bagai bentuk seperti: seni tari, tabuh, pahat, lukis dan lain-lainnya.
Demikian lah kelihatan hubungan yang erat antara kebudayaan dan agama, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, dan ini akhirnya dapat dilihat di pura-pura terutama pada piodalan yang penuh dengan hiasan yang serba indah dan cemerlang. Di sini lah terlihat dengan jelas bahwa perkembangan seni di Bali mencari akarnya pada agama.

Dari sekian banyak pura yang tersebar di daerah Bali dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widi dan para roh suci leluhur dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya dan karakter sebagai berikut

1. Pura yang fungsinya sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widi dan para Dewa seperti Pura Kahyangan Tiga dan Pura Kahyangan jagat.

2. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja roh suci seperti Paibon atau Dadia, Padarman.


Pengelompokan berdasarkan ciri, yang antara lain diketahui atas dasar penyiwi atau kelompok masyarakat pemuja. Penyiwi terkelompok di dalam berbagai jenis ikatan seperti: ikatan sosial, ekonomi, genealogis (garis keturunan), Ikatan sosial antara lain berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal (teritorial), ikatan pengakuan jasa seorang guru suci (Dang Guru). Ikatan ekonomis antara lain dibedakan atas dasar kepentingan sistem mata pencaharian seperti bertani, berdagang, nelayan dan lain-lainnya. Ikatan genealogis adalah atas dasar garis kelahiran.

 

Pura Besakih


Etimologi

Kata "Pura" sesungguhnya berasal dari akhiran bahasa Sanskerta (-pur, -puri, -pura, -puram, -pore), yang artinya adalah kota, kota berbenteng, atau kota dengan menara atau istana. Dalam perkembangan pemakaiannya di Pulau Bali, istilah "Pura" menjadi khusus untuk tempat ibadah; sedangkan istilah "Puri" menjadi khusus untuk tempat tinggal para raja dan bangsawan.

Tata letak
Pelinggih Meru berbentuk atap bersusun tinggi serupa pagoda ini adalah salah satu ciri khas arsitektur pura.
Tidak seperti candi atau kuil Hindu di India yang berupa bangunan tertutup, pura dirancang sebagai tempat ibadah di udara terbuka yang terdiri dari beberapa lingkungan yang dikelilingi tembok. Masing-masing lingkungan ini dihubungkan dengan gerbang atau gapura yang penuh berukiran indah. Lingkungan yang dikelilingi tembok ini memuat beberapa bangunan seperti pelinggih yaitu tempat suci bersemayam hyang,meru yaitu menara dengan atap bersusun, serta bale (pendopo atau paviliun). Struktur tempat suci pura mengikuti konsep Trimandala, yang memiliki tingkatan pada derajat kesuciannya, yakni:
  1. Nista mandala (Jaba pisan): zona terluar yang merupakan pintu masuk pura dari lingkungan luar. Pada zona ini biasanya berupa lapangan atau taman yang dapat digunakan untuk kegiatan pementasan tari atau tempat persiapan dalam melakukan berbagai upacara keagamaan.
  2. Madya mandala (Jaba tengah): zona tengah tempat aktivitas umat dan fasilitas pendukung. Pada zona ini biasanya terdapat Bale Kulkul, Bale Gong (Bale gamelan), Wantilan (Bale pertemuan), Bale Pesandekan, dan Perantenan.
  3. Utama mandala (Jero): yang merupakan zona paling suci di dalam pura. Di dalam zona tersuci ini terdapat Padmasana, Pelinggih Meru, Bale Piyasan, Bale Pepelik, Bale Panggungan, Bale Pawedan, Bale Murda, dan Gedong Penyimpenan.
Meskipun demikian tata letak untuk zona Nista mandala dan Madya mandala kadang tidak mutlak seperti demikian, karena beberapa bangunan seperti Bale Kulkul, atau Perantenan atau dapur pura dapat pula terletak di Nista mandala.
Pada aturan zona tata letak pura maupun puri (istana) di Bali, baik gerbang Candi bentar maupun Paduraksa merupakan satu kesatuan rancang arsitektur. Candi bentar merupakan gerbang untuk lingkungan terluar yang membatasi kawasan luar pura dengan Nista mandala zona terluar kompleks pura. Sedangkan gerbang Kori Agung atau Paduraksa digunakan sebagai gerbang di lingkungan dalam pura, dan digunakan untuk membatasi zona Madya mandala dengan Utama mandala sebagai kawasan tersuci pura Bali. Maka disimpulkan baik untuk kompleks pura maupun tempat tinggal bangsawan, candi bentar digunakan untuk lingkungan terluar, sedangkan paduraksa untuk lingkungan dalam.

Terdapat beberapa kelompok pura di Bali :

a. Pura Umum/Pura Kahyangan Jagat

Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widi dengan segala prabawanya (Dewa). Pura yang tergolong umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga sering disebut Kahyangan Jagat. Pura-pura yang tergolong mempunyai ciri - ciri tersebut adalah Pura Besakih, Pura Batur dan Pura Sad Kahyangan lainnya.
Pura lainnya, yang tergolong pura umum adalah pura yang fungsinya sebagai tempat pemujaan untuk memuja kebesaran atau jasa guru suci atau Dang Guru. Pura ini dipuja oleh seluruh umat Hindu yang merasa berhutang jasa kepada Dan Guru atas dasar ajaran agama Hindu yang telah diberikan. Pura-pura yang tergolong ke dalam karakter yang disebut Dang Kahyangan seperti: Pura Purancak, Pura Rambutsiwi, Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura Silayukti, Pura Kentelgumi dan lain-lainnya. Pura-pura tersebut di atas berkaitan dengan Dharma Yatra yang dilakukan oleh Dang Hyang Nirartha dan Empu Kuturan karena peranannya sebagai Dang Guru.
Pura-pura lain yang tergolong umum juga yaitu pura yang dihubungkan dengan pura tempat pemujaan dan kerajaan yang pernah ada di Bali seperti Pura Taman Ayun, yang merupakan Pura Kerajaan Mengwi, Pura Dasar Gelgel merupakan pura Kerajaan Gelgel dan lain-lainnya.

b. Pura Teritorial/Pura Kahyangan Tiga

Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah sebagai tempat pemujaan suatu desa adat. Ciri khas suatu desa adat pada dasarnya memiliki tiga buah pura yang disebut Kahyangan Tiga yaitu: tiga buah pura yang melingkupi desa ialah Pura Desa atau Bale Agung sebagai tempat pemujaan Tuhan dalam prabhawa-Nya sebagai pencipta yaitu Brahma, Pura Puseh sebagai tempat pemujaan Tuhan dalan manifestasi-Nya sebagai pemelihara yaitu Wisnu dan Pura Dalem sebagai tempat pemujaan Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai pelebur yaitu Çiwa. Nama-nama Kahyangan Tiga tampaknya juga bervariasi seperti pada beberapa desa di Bali, Pura Desa sering disebut Pura Bale Agung, Pura Puseh sering disebut Pura Segara, bahkan Pura Puseh desa Besakih disebut Pura Banua.

c. Pura Fungsional / Pura Swagina

Pura ini mempunyai karakter fungsional karena umat penyiwinya terikat oleh ikatan kekaryaan seperti: mempunyai profesi yang sama dalam sistem mata pencaharian hidup seperti: bertani, berdagang, nelayan. Karena bertani dalam mengolah tanah tidak dapat dipisahkan dengan air, maka mereka mempunyai ikatan yang disebut Pura Empelan atau Pura Ulunsuwi atau Pura Subak.
Demikian pula berdagang merupakan satu sistem mata pencaharian hidup menyebabkan adanya ikatan pemujaan dalam wujud pura yang disebut Pura Melanting. Umumnya Pura Melanting didirikan di dalam suatu pasar yang dipuja oleh para pedagang dalam lingkungan pasar tersebut.

d. Pura Kawitan

Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau asal leluhur berdasarkan garis kelahiran (genealogis). Suatu keluarga inti (ayah ibu dan anak-anak) dalam istilah antropologi disebut keluarga batih mempunyai tempat pemujaan yang disebut Sanggah atau Pamerajan.
Kemudian apabila keluarga itu telah bertambah banyak jumlahnya dan sudah ada yang keluar dan rumah asal, maka tempat pemujaan keluarga luas tersebut disebut Sanggah Gede atau Pamerajan Agung.
Selanjutnya pada tingkat yang lebih luas yaitu pada tingkat klen mempunyai tempat pemujaan yang disebut pura Dadia, sehingga mereka disebut tunggal dadia. Apabila klen itu membesar lagi sehingga mencakup Jagat Bali, maka mereka mempunyai tempat pemujaan yang disebut Padarman, biasanya terdapat di Pura Besakih, seperti Padarman Dalem, Padarman Arya Dauh, Padarman Arya Kepakisan dan lain-lainnya.
Pemujaan roh suci leluhur di Bali bukannya pengaruh dan India, tetapi telah ada jauh sebelum pengaruh Hindu datang ke Indonesia. Konsepsi keagamaan ini adalah unsur asli Indonesia/Bali yang berkembang mulai jaman neolitik ±2500SM dan berlanjut pada jaman perunggu ±500SM. Untuk tempat pemujaan arwah nenek moyang pada masa ini didirikan lah bangunan teras piramid dan menhir, sedangkan untuk pengekalan jasmaniahnya dibuatkan peti kubur batu yang disebut sarkofagus. Bukti-bukti peninggalan arkeologi ini banyak ditemukan di Bali terutama di desa-desa pegunungan seperti Desa Selulung di Kintamani, desa Sembiran, Tenganan Pagringsingan dan lain-lainnya.
Setelah kebudayaan Hindu mempengaruhi Indonesia, maka terjadilah perpaduan konsepsi keagamaan yaitu pemujaan roh suci leluhur yang disebut Batara unsur asli Indonesia atau Bali dan pemujaan Dewa pengaruh dari India.
Akhirnya kedua konsepsi keagamaan ini berdampingan satu dengan yang lainnya. Hal ini jelas tampak pada pura-pura di Bali di mana terdapat tempat pemujaan untuk Hyang Widi yang disebut Padmasana dan tempat pemujaan untuk Batara yang disebut: Sanggah Kemulan, Gedong Pejenengan dan Meru Padarman.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar