Pulau Bali sering dijuluki dengan berbagai-bagai nama oleh wisatawan, di antaranya disebut "Bali, the island of the thousand temples" artinya Bali adalah pulau dengan ribuan buah pura. Kadangkala disebut pula dengan nama pulau dewata atau "the island of Gods" dari beberapa julukan lain yang menarik. Dalam kenyataan memang terlihat banyak pura di Bali dan tersebar di seluruh daerah Bali. Adanya banyak pura di Bali bukan lah berarti umat Hindu di Indonesia menganut kepercayaan politeistik, melainkan tetap monoteistik karena yang di-stanakan di Pura itu adalah prabawa Hyang Widi sesuai dengan fungsinya. Kata pura berasal dari kata Sanskerta yang berarti kota atau benteng, artinya tempat yang dibuat khusus dengan dipagari tembok untuk mengadakan kontak dengan kekuatan suci. Tempat khusus ini di Bali disebut dengan nama pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk pemujaan Hyang Widi beserta manifestasinya dan roh suci leluhur. Berdasarkan bukti-bukti prasasti yang ditemukan di Bali, kata pura untuk menamai tempat suci belum ditemukan pada jaman Bali Kuna. Pada prasasti Turunyan AI tahun 891M disebutkan Sanghyang Turun-hyang artinya tempat suci di Turunyan. Demikian pula di dalam prasasti Pura Kehen A disebutkan pujaan kepada Hyang Karimana, Hyang Api, dan Hyang Tanda. Artinya tempat suci untuk Dewa Karimana, tempat suci untuk Dewa Api dan tempat suci untuk Dewa Tanda. Dan penjelasan prasasti tersebut diketahui bahwa pada jaman Bali Kuna yang berlangsung dari kurun waktu tahun 800 - 1343 M dipakai kata Hyang untuk menyebut tempat suci di Bali. Pada jaman Bali Kuna dalam arti sebelum kedatangan Sri Kresna Kepakisan di Bali, istana raja disebut Kedaton atau Keraton. Sedangkan pada masa pemerintahan Sri Kresna Kepakisan terlihat sebutan istana raja bukan lagi disebut kedaton melainkan disebut pura seperti keraton Dalem di Gelgel Swecapura dan keratonnya di Klungkung disebut Smarapura. Rupa-rupanya menggunakan kata pura untuk menyebutkan suatu tempat suci dipakai setelah dinasti Dalem berkraton di Klungkung, di samping istilah Kahyangan masih dipakai. Kendati pun sebagai tempat pemujaan Hyang Widi, tidak lah merupakan tempat yang permanen dari kekuatan suci, tetapi lebih bersifat sebagai persimpangan atau tempat tinggal sementara, di mana pada waktu hari ulangtahun pura, kekuatan suci akan datang menempati pelinggih- pelinggih yang sudah disediakan di dalam suatu pura. Ketika inilah diadakan kontak antara anggota masyarakat pengemongnya dengan kekuatan suci yang baru turun. Sebagai media menurunkan kekuatan suci tadi ialah pedanda atau pendeta dengan wedanya, selain berbagai-bagai jenis tarian dan upacara sebagai penyambutan turunnya kekuatan suci. Tempat yang abadi dari para Dewa dan roh suci leluhur adalah di gunung, dalam hal ini gunung Maha meru dan kalau di Bali adalah Gunung Agung. Akhirnya timbul anggapan, gunung sebagai alam arwah dan juga sebagai alam para dewa. Anggapan akan adanya gunung suci dalam agama Hindu dapat disaksikan pada cerita-cerita kuna yang dikaitkan dengan gunung seperti ceritera pemutaran gunung Mandara di Ksirarnawa yang bertujuan untuk mencari Amerta atau air kehidupan. Ceritera yang kedua ialah ceritera Tantu Panggelaran yang mengisahkan pemindahan puncak Gunung Mandara ke Jawa Dwipa yang ketika itu masih dalam keadaan belum stabil. Kepercayaan gunung sebagai alam arwah telah ada jauh sebelum pengaruh Hindu datang ke Indonesia, yaitu pada jaman bercocoktanam dan perundagian. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya tempat pemujaan arwah leluhur yang berbentuk punden berundakundak yang diduga sebagai replika (bentuk tiruan) dari gunung, karena gunung pada masa itu dianggap sebagai alam arwah. Ketika upacara sedang berlangsung umat akan merasa kehadiran yang Maha suci dan menimbulkan rasa sebagai kedatangan tamu suci yang dimuliakan. Timbul lah rasa untuk memberikan rasa bakti atau penghormatan setinggi-tingginya, guna mendapatkan anugrah-Nya, berupa kesejahteraan, perlindungan dan kebahagiaan hidupnya. Hal ini merupakan sumber yang menggetarkan jiwanya dan akhirnya menjadi sumber bangkitnya rasa estetika dari umat. Sebagai akibat rasa estetik lalu diikuti dengan ciptaan- ciptaan seninya dalam berbagai-bagai bentuk seperti: seni tari, tabuh, pahat, lukis dan lain-lainnya. Demikian lah kelihatan hubungan yang erat antara kebudayaan dan agama, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, dan ini akhirnya dapat dilihat di pura-pura terutama pada piodalan yang penuh dengan hiasan yang serba indah dan cemerlang. Di sini lah terlihat dengan jelas bahwa perkembangan seni di Bali mencari akarnya pada agama.
Pengertian
Secara etimologi kata Kahyangan Tiga
terdiri dari dua kata yaitu kahyangan dan tiga. Kahyangan berasal dari kata
hyang yang berarti suci mendapat awalan ka dan akhiran an, an menunjukkan
tempat dan tiga artinya tiga. Arti selengkapnya adalah tiga buah tempat suci,
yaitu Pura Desa atau disebut pula Pura Bale Agung, Pura Puseh dan yang ketiga
adalah Pura Dalem.
Kahyangan Tiga terdapat pada setiap desa Adat di Bali. Apabila jumlah desa Adat di Bali 1456 buah, maka jumlah Pura Kahyangan Tiga akan menjadi tiga kali jumlah desa Adat sehingga menjadi 4368 buah pura. Pada beberapa desa adat di Bali kadang kala penempatan Pura Puseh digabungkan dengan Pura Desa sehingga tampaknya seperti hanya satu pura tetapi sebetulnya adalah tetap dua buah pura. Desa adat sebagai lembaga sosial tradisional adalah pengelompokan sosial berdasarkan kesatuan teritorial ditandai mereka bertempat tinggal dalam wilayah yang sama, mempunyai tugas dalam kegiatan gotong royong dan melaksanakan tugas pasukadukaan. Pengelompokan yang lain berdasarkan genealogis seperti apa yang disebut tunggal kawitan, tunggal sanggah, pengelompokan sosial yang disebut sisya yang didasarkan atas siapa yang dijadikan pimpinan di dalam suatu upacara keagamaan. Lembaga sosial tradisional yang lain adalah subak (kesatuan petani yang sawahnya menerima air dari satu sumber irigasi yang sama), dan sekaha (kesatuan sukarela). Keseluruhan lembaga tradisional tadi sangat fungsional bagi upaya pelestarian dan penyelarasan kebudayaan Bali yang dibangun atas dasar landasan konsepsi Trihita Karana (tiga penyebab kesejahteraan hidup) yaitu parhyangan = tempat pemujaan, pawongan = manusia, dan pelemahan = wilayah. Kahyangan Tiga merupakan salah satu unsur dari Trihita Karana yaitu unsur parhyangan dari setiap desa adat di Bali. Pada Kahyangan Tiga masyarakat desa memohon keselamatan dan kesejahteraan untuk desa dan masyarakatnya. Unsur yang ke dua dan tiga dari Trihita Karana disebut dengan pelemahan dan pawongan. Dengan demikian maka di dalam mewujudkan rasa aman, tentram, sejahtera lahir batin dalam kehidupan desa adat berlandaskan tiga hubungan harmonis yaitu hubungan manusia dengan alam atau hubungan krama desa dengan wilayah desa adat, hubungan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya dalam desa adat dan hubungan krama desa dengan Hyang Widi sebagai pelindung. Inilah yang dinamakan Trihita Karana dalam desa adat di Bali. Dengan tercakupnya unsur ketuhanan dalam kehidupan desa adat di Bali, maka desa adat di Bali mencakup pula pengertian sosio-religius. Maka dari itu perpaduan antara adat dengan agama Hindu di Bali adalah erat sekali sehingga sulit memisahkan secara tegas unsur-unsur adat dengan unsur agama, karena adat-istiadat di Bali dijiwai oleh agama Hindu dan aktivitas agama Hindu didukung oleh adat istiadat di masyarakat.
Sejarah
Membicarakan masalah sejarah
pendirian Kahyangan Tiga pada setiap desa adat di Bali, belum diketahui dengan
pasti, karena sumber tertulis yang menyebutkan secara jelas belum ditemukan.
Tetapi besar kemungkinan pada jaman Bali Kuna ketiga pura tersebut telah ada di
tengah-tengah masyarakat Bali karena dipakai kata Kahyangan untuk menyebut pura
tersebut. Di dalam prasasti-prasasti Bali Kuna belum ditemukan kata Pura untuk
menyebut tempat suci tetapi yang dipakai adalah kata hyang atau kahyangan.
Sebelum masa pemerintahan raja suami-istri Udayana dan Gunapriya Darmapatni tahun 989 -1011M di Bali berkembang banyak aliran-aliran keagamaan seperti: Pasupata, Bairawa, Wesnawa, Boda, Brahmana, Resi, Sora, Ganapatya dan Siwa Sidanta. Di antara penasehat pemerintahan Udayana, tersebut nama Senapati Kuturan di samping sebagai ketua Majelis Pusat Pemerintahan yang disebut "Pakiran-kiran i jro makabehan". Empu Kuturan sebagai seorang senapati dan ahli dalam masalah keagamaan, berhasil dalam menanamkan pengertian di bidang keagamaan dan menyempurnakan sistem kemasyarakatan di Bali. Dalam karangannya Purana Tatwa, Dewa Tatwa, Widisastra, memberikan pelajaran tentang sejarah para Pendeta, Dewa-dewa dan bagaimana caranya memuja Dewa-dewa, dan caranya membangun pura dengan pedagingannya. Seorang sarjana Belanda yang lama tinggal di Bali yakni Dr. R. Cons mengatakan kecerdasan Empu Kuturan sebagai seorang filosof besar dan negarawan yang bijaksana. Dalam lontar Raja Purana menyebutkan usaha Empu Kuturan untuk membangun tempat-tempat suci beserta upacaranya sebagai berikut:
Ngaran Dewa ring kahyangan pewangunan Empu Kuturan kapastikan
saking Pura Silayukti, muwang ngewangun seraya karya, ngadegang raja purana,
mwang nangun karya ngenteg linggih batara ring Bali, kaprateka antuk sira Empu
Kuturan, Ngeraris nangun catur agama, catur lokika bhasa, catur gila, mekadi
ngewangun Sanggah Kamulan, ngewangun Kahyangan Tiga, Pura Desa, Puseh mwang
Dalem.
Terjemahannya :
Adapun Dewa di Kahyangan diciptakan
atau dibangun oleh Empu Kuturan, direncanakan dari Pura Silayukti dan menyelenggarakan
segala pekerjaan sehubungan dengan pembangunan pura-pura kahyangan jagat,
demikian pula mengadakan pemelaspasan dan mengisi pedagingan linggih
batara-batari di Bali diatur oleh Empu Kuturan. Selanjutnya dibuat peraturan
agama, empat cara-cara berbahasa, empat ajaran pokok dalam kesusilaan dan lima
tatwa agama, seperti mengajar membuat sanggah Kemulan, Kahyangan Tiga, Pura
Desa, Puseh dan Dalem
Sehubungan dengan pembangunan
tempat-tempat suci, oleh Empu Kuturan, babad Gajah Mada menyebutkan sebagai
berikut:
Sira to Empu Kuturan sang sida moksah ring Silayukti sira to
urnara marahing tumitahing Bali Aga, sira nggawe paryangan pengastawan
kabuyutan, ibu, dadia, ring Bali Aga kabeh, apan Bali gung guna sucaya
Terjemahannya :
Beliau Empu
Kuturan yang moksa di Silayukti, dia yang mengajarkan membuat pemujaan di Bali,
termasuk tempat suci pemujaan untuk roh suci leluhur paibon/ dadia, sehingga
Bali menjadi jaya dan sejahtera
Adanya banyak aliran-aliran di Bali
menimbulkan perbedaan kepercayaan di masyarakat sehingga sering menimbulkan
pertentangan dan perbedaan pendapat di antara aliran yang satu dengan yang
lainnya. Akibat adanya pertentangan ini membawa pengaruh buruk terhadap
jalannya roda pemerintahan kerajaan dan mengganggu kehidupan masyarakat.
Menyadari keadaan yang demikian itu maka raja Udayana menugaskan Empu Kuturan untuk mengadakan pasamuhan (pertemuan) para tokoh- tokoh agama di Bali. Pasamuhan para tokoh agama itu bertempat di Desa Bedahulu Kabupaten Gianyar. Pertemuan para tokoh-tokoh agama dari berbagai aliran yang ada di Bali berhasil menetapkan dasar keagamaan yang disebut Tri Murti yang berarti tiga perwujudan dari Hyang Widi yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa. Tempat pasamuhan yang menghasilkan dasar keagamaan Tri Murti disebut Samuan Tiga di mana sekarang berdiri Pura Samuan Tiga di Desa Bedahulu. Pada pura ini tersimpan banyak peninggalan purbakala seperti lingga, Arca Ganesa, Arca Durga, arca perwujudan batara- batari. Tiga kekuatan di atas yang merupakan prabawa Hyang Widi dapat dirasakan dan dialami dalam kehidupan di dunia ini sebagai suatu siklus yaitu: lahir, hidup dan mati. Demikian seterusnya berputar sebagai suatu lingkaran yang tiada terputus sepanjang jaman, karena ia kodrat alam dan hukum Tuhan. Ketiga kodrat alam ini disebut tri kona (segi tiga). Kesaktian untuk menciptakan (utpati), kesaktian untuk memelihara (stiti) dan kesaktian untuk mengembalikan kepada asalnya (pralina) merupakan tiga sifat yang mutlak dan diwujudkan dengan dewa Tri Murti. Di dalam Weda, Tri Murti berarti tiga Dewa yaitu: Dewa Brahma, Wisnu dan Iswara (Siwa), yang diwujudkan dengan:
· Aksara Ang
melambangkan Dewa Brahma dengan warna merah dan senjata Gada.
· Aksara Ung
melambangkan Dewa Wisnu dengan warna hitam dan senjata Cakra
· Aksara Mang
melambangkan Dewa Siwa dengan warna putih dan senjatanya Padma.
Ketiga aksara Ang Ung Mang jika
disatukan menjadi A U M. Dalam persenyawaan suara huruf A dan U disandikan
menjadi 0 sehingga AUM menjadi Om, yaitu lambang aksara Hyang Widi.
Dari uraian tersebut di atas dapat diperkirakan bahwa Kahyangan Tiga pada setiap Desa Adat di Bali dirintis oleh Mpu Kuturan ketika pemerintahan raja suami istri Udayana dan Gunapriya Darmapatni pada abad 10M. Perkiraan ini diperkuat dengan adanya ungkapan dalam babad Pasek yang menyebutkan demikian:
Nguni duk pemadegan sira cri Gunapriya Darmapatni Udayana
Warmadewa, hana pesamuan agung ciwa Budha kalawan Bali Aga, ya etunya hana desa
pakraman mwang Kahyangan Tiga maka kraman ikang desa para desa Bali Aga
Terjemahannya:
Dahulu
tatkala bertahtanya Çri Gunapriya Darmapatni dan suaminya Udayana, ada
musyawarah besar Çiwa Buddha dengan pihak Bali Aga, itulah asal mulanya ada
desa pekraman dan Kahyangan Tiga sebagai tatanan kehidupan dari masing-masing
desa Bali Aga.
Dan uraian di atas dapat diduga
bahwa pengelompokan masyarakat ketika itu disebut desa pakraman dan dalam
perkembangannya mengalami perubahan yang akhirnya disebut desa adat yang
dilengkapi dengan peraturan-peraturan yang disebut Awig-awig.
Awig-awig ini mempunyai kedudukan sebagai stabilisator yang mengatur kegiatan dan aspek kehidupan masyarakat. Tujuannya ialah agar suasana kehidupan desa menjadi tetap terpelihara secara serasi dan harmonis dengan ketertiban yang mantap. Keserasian dan keharmonisan kehidupan masyarakat dapat diukur dengan sistem cara berpikir yang lugu dan tidak mengadakan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Dengan cara berpikir yang demikian itu akan melahirkan suasana senasib sepenanggungan yang lebih dikenal dengan istilah suka duka sebagai salah satu warisan budaya yang tak ternilai harganya.
Untuk lebih
memantapkan dan memasyarakatkan konsepsi Tri Murti yang telah disepakati
sebagai dasar keagamaan di Bali, maka pada setiap desa adat didirikan Kahyangan
tiga. Ketiga Kahyangan tersebut adalah:
1. PuraDesa
2. Pura Puseh
3. Pura Dalem
Upacara.
Pura yang termasuk kelompok Kahyangan Tiga, masing-masing mempunyai hari piodalan (hari ulang tahun) tersendiri. Hari ulang tahun dari suatu pura ditentukan melalui hari diresmikan pura tersebut. Hari peresmian biasanya dipilih hari yang baik sesuai dengan petunjuk dari pendeta dan selanjutnya ditetapkan sebagai hari piodalan.
Kata piodalan adalah berasal dari kata wedal yang artinya lahir mendapat awalan pa dan akhiran an yang berarti tempat lahir atau kelahiran.
Waktu pelaksanaan hari piodalan pada tiap-tiap pura berbeda-beda, ada setiap enam bulan atau 210 hari, tetapi ada pula yang dilaksanakan setiap tahun. Upacara piodalan dari pura digolongkan pada upacara dewa yajnya yang merupakan salah satu dari lima jenis upacara atau Panca Yajnya. Yajnya berasal dari kata jaj yang artinya sembahyang. Dari akar kata ini lalu menjadi kata yadnya yang berarti persembahan kepada Hyang Widi dan manifestasinya.
Pelaksanaan upacara di Pura Kahyangan Tiga dilakukan secara berkala pada hari-hari tertentu, seperti upacara flap bulan sekali yang disebut rerainan yang jatuh harinya sesuai dengan hari piodalan dan juga setiap hari Purnama dan tilem. Upacara yang diadakan berkala setiap 210 hari disebut hari piodalan dengan upacara yang lebih besar dari rerainan. Jenis upacara berkala yang lebih besar adalah karya ngusaba, karya mamungkah dan lain-lainnya.
Pada umumnya tiap-tiap pura Kahyangan Tiga mempunyai kekayaan khusus yang disebut laba pura atau kalau di Jawa pada jaman Hindu disebut tanah perdikan dari suatu Candi. Laba Pura biasanya dalam bentuk tanah yang luasnya tergantung pada kemampuan dari desa adat. Hasil dari penggarapan tanah dimanfaatkan untuk kepentingan biaya upacara rerainan, piodalan dan juga untuk biaya memperbaiki kerusakan dari bangunan-bangunan yang ada di dalam pura. Kelompok orang yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan suatu pura disebut: Krama pura.
Untuk menunjukkan rasa baktinya kepada Hyang Widi dan Batara Batari, ketika upacara piodalan masyarakat menghaturkan sesajen yang disebut banten piodalan dan banten perseorangan dari anggota krama pura. Banten piodalan dapat dibedakan atas beberapa jenis seperti banten sor, catur dan lainnya. Jenis bebanten mana yang akan dilaksanakan tergantung pada kemampuan dari para krama pura. Selain menghaturkan sesajen ketika upacara piodalan berlangsung, diiringi pula dengan gamelan dan tari - tarian suci keagamaan. Jenis tarian yang dipentaskan adalah; tari Sanghyang, pendet, berbagai jenis baris. Tujuan dari pementasan tarian ini adalah untuk menyambut kedatangan kekuatan suci di mana pada saat ini masyarakat akan mengadakan kontak dan mohon keselamatan bagi warganya. Karena itu sering dikatakan, munculnya jenis-jenis tarian di Bali pada mulanya adalah diabdikan untuk kepentingan agama dan baru kemudian berkembang menjadi seni kemasyarakatan yang ditandai munculnya kreasi- kreasi baru dalam seni taxi di Bali.
Upacara piodalan dan jenis-jenis upacara berkala di Pura Kahyangan Tiga diantarkan oleh seorang Pendeta tetapi upacara kecil yang disebut rerainan diantarkan (diselesaikan) oleh seorang pemangku dari pura itu sendiri. Untuk desa-desa kuna upacara diselesaikan oleh seorang jero Gede atau semacam pemangku. Ketika pendeta memuja, para krama pura sudah siap di halaman dalam untuk melaksanakan pemujaan. Setelah selesai memuja maka pendeta menuntun jalannya persembahyangan hingga selesai.
Pemakaian puja atau stawa oleh pendeta pada masing-masing pura dari Kahyangan Tiga adalah berbeda-beda seperti di Pura Desa memakai puja Brahma stawa, di Pura Puseh memakai Wisnu Stawa dan di Pura Dalem mempergunakan Durga Stawa. Sebagai contoh dikutipkan Brahma stawa sebagai berikut:
Om Ang Brahma namas catur-mukham Brahmagni rakta-varnan ca shpatika varna dewata, sarva bhusana raktakam.
Danda antra maha tiksna, atma raksa nabhi-sthana, adyageni surya sphatika, sarva satru vinasanam.
Terjemahan :
Hyang Widi Ang Dewa Brahma yang mulia, mempunyai empat muka, Brahma adalah Agni, dengan warna merah, Dewa yang berwarna berkilauan, mempunyai hiasan serba merah. Mempunyai senjata bernama gada yang amat sakti, menjaga atma yang berada di nabi, awal dari api, surya dengan cahaya berkilauan menghancurkan semua musuh-musuh
Untuk pemujaan kepada Dewa Wisnu di Pura Puseh, pendeta mempergunakan Wisnu stawa, kutipannya sebagai berikut:
Om Ung namo Wisnu tri mukhanam, trinayanam Catur-bhujam, krsna varnam sphatikantam, sarva bhusana kresnam, Cakra astra mahatiksnam, atma raksam ampru sthanam, amrtah jivano devah, sarva satru vinasanam.
Terjemahan:
Hyang Widi Ung Dewa Wisnu, tiga muka, tiga mata dan empat tangan, warna hitam yang berkilauan, semua hiasan hitam. Senjata cakra yang amat tajam, melindungi atma, yang tinggal di hati, dewa memberikan kehidupan, semua musuh dihancurkan.
Puja atau stawa yang dipergunakan oleh pendeta di Pura Dalem disebut Durga stawa dan di sini akan disampaikan kutipannya sebagai berikut :
1. Om Giri - putri deva-devi, lokasraya mahadewi Uma Gangga Saraswati Gayatri Vaisnawi Dewi.
2. Catur Divya mahasakti, catur asrama Batari Siva jagat pati devi, Durga Masayrira dewi.
3. Sarva jagat pranamyanam jagad vighna vimurcanam Durga bhucara moksanam sarva duhka vimoksanam.
4. Anugraha amerta bhumi vighna dosa vinasanam sarva papa vinasanam sarva pataka nasanam.
5. Om Deva-devi maha jnanam suddha vighna bhv esvari sarva jagat pratisthanam sarva devanugrahakam.
Terjemahan :
1. Hyang Widi Dewa-Dewi, Giri Putri yang melindungi dunia Dewi Uma, Gangga, Saraswati, Gayatri, dan sakti Dewa Wisnu.
2. Empat kekuatan Maha sakti dan Batari dipuja dalam empat lingkungan hidup Sakti dari Dewa Siwa, penguasa dunia, Durga yang berbadan Dewi.
3. Dia dihormati oleh seluruh dunia, mempunyai kekuatan menghilangkan rintangan dunia Dewi Durga mendatangkan keselamatan dari gangguan para danawa yang membawa kebebasan dari rintangan dan kesalahan.
4. Dia memberi karunia, air kehidupan untuk dunia, menghancurkan segala rintangan dan dosa-dosa.
5. Dewi dari Dewa sebagai kebebasan yang maha besar, Dewi dari dunia yang menghilangkan penderitaan. Menolong seluruh dunia, dan menyatu dengan dewa-dewa yang lain serta memberi karunia.
|
Elah da ulaha.. Elah patut alih pang nyak hidupe aluh.. ane penting sing Elah ulian ulah aluh..