Minggu, 22 April 2012

Tri Hita Karana

Sahayajnah prajah sristwa pura waca prajapatih anena prasawisya dhiwan esa wo'stiwistah kamadhuk
(Bagavadgita III.10)

artinya :
 Pada jaman dahulu Prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda: dengan ini engkau akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu.




Mpu Kuturan yang datang di Bali pada abad ke-11 atas permintaan Raja Udayana dan Gunapriadharmapatni tidak hanya berhasil menyatukan berbagai sekte agama Hindu yang ada ketika itu dalam wadah kepercayan Trimurti, tetapi juga telah meletakkan dasar-dasar kehidupan sosial religius dalam bentuk tatanan Desa Pakraman.
Desa Pakraman yang merupakan komunitas Hindu-Bali dibangun dengan kepercayaan Trimurti di mana Ida Sanghyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Brahma, Siwa, dan Wisnu distanakan di Pura Desa untuk Brahma, Pura Dalem untuk Siwa, dan Pura Segara atau Pura Puseh untuk Wisnu. Ketiga Pura ini dikenal sebagai Trikahyangan.
Atas dasar itu dikembangkan pula konsep Trihitakarana yang mengambil peranan manusia sebagai sentral atau penentu terwujudnya kebaikan dan kesejahteraan.
Secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana = penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara:
  1. Manusia dengan Tuhannya.
  2. Manusia dengan alam lingkungannya.
  3. Manusia dengan sesamanya.

Trihitakarana bermakna sebagai tiga hal yang mewujudkan kebaikan dan kesejahteraan yakni Parhyangan, yaitu hubungan yang harmonis dan seimbang antara manusia dengan Tuhan; Pawongan, yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesama manusia; dan Palemahan, yaitu hubungan yang harmonis dan seimbang antara manusia dengan alam.
Kaitan Trihitakarana dengan falsafah Trimurti, Trikahyangan, dan Trikayaparisudha, adalah: untuk mencapai tujuan hidup yang sejahtera lahir dan bathin (mokshartam jagaditaya ca iti dharmah), manusia hendaknya mampu melaksanakan Trikayaparisudha: pikiran yang baik, perkataan yang baik dan benar, dan perbuatan yang baik.
Semuanya berpedoman pada Trihitakarana dengan Trimurti sebagai keyakinan utama (srada) yakni dalam wujud pemujaan Ida Sanghyang Widhi sebagai Siwa yang berstana di Pura Dalem untuk implementasi Parhyangan, Pura Desa selain sebagai stana Brahma juga digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan tata kemasyarakatan (Pawongan), dan Pura Segara atau pura Puseh selain sebagai stana Wisnu juga digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pemeliharaan alam (Palemahan).
Bali yang sejak abad ke-11 ditata dengan konsep-konsep Mpu Kuturan seperti itu berhasil mencapai zaman keemasan yang memuncak pada masa pemerintahan Raja Dalem Waturenggong (1460 – 1550).
Sebagai rasa bhakti dan terima kasih atas jasa-jasa Mpu Kuturan yang telah menata kehidupan rakyat Bali, maka di setiap Pura dan Sanggah Pamerajan dibangunlah pelinggih Manjangan Saluwang sebagai stana dan pemujaan pada Mpu Kuturan.
TRIHITAKARANA DALAM PERKEMBANGAN PERADABAN MANUSIA
Trihitakarana telah diaplikasikan di seluruh dunia, dalam berbagai bentuk aktivitas baik oleh perorangan, kelompok, negara bahkan oleh Perserikatan Bangsa – Bangsa. Tentu saja tidak menggunakan istilah bakunya: Trihitakarana. Tetapi yang penting bahwa manusia sedunia telah menyadari bahwa kebenaran konsep itu telah terbukti.
Demikianlah berbagai contoh dapat dikemukakan, misalnya manusia tak akan hidup tentram bila keyakinan akan adanya kemahakuasaan Tuhan, goyah; manusia juga tidak akan merasa tenteram – damai bila terjadi konflik antar umat manusia baik dalam bentuk peperangan maupun aksi-aksi teror; manusia juga menyadari bahwa apabila ia merusak alam maka ia akan menjadi korban bencana alam.
Berbagai organisasi tingkat regional, nasional, dan internasional telah dibentuk untuk mewujudkan Trihitakarana baik secara keseluruhan maupun sektoral. Kita mengenal adanya WHO, Red Cross, Green Peace, Dewan Keamanan PBB, Pasukan perdamaian PBB, dll.
Trihitakarana dalam aplikasinya oleh penduduk non Hindu-Bali, berdiri sendiri-sendiri, dalam artian tidak berkaitan dengan konsep-konsep lainnya seperti yang disebutkan di atas, yaitu Trimurti, Tri Kahyangan, dan Trikayaparisudha.
Banyak pertanyaan yang bisa timbul karena ketidakterkaitan itu. Ini disebabkan karena setiap unsur Trihitakarana ciptaan Mpu Kuturan terjalin dan terkait satu dengan lain. Misalnya kiprah manusia untuk menjaga kelestarian alam haruslah didasarkan pada rasa bhakti kepada Ida Sanghyang Widhi, dengan tujuan pencapaian kesejahteraan bagi sesama krama Desa Pakraman.
Dalam aplikasi Trihitakarana secara global, belum tentu unsur-unsurnya berkaitan erat seperti itu. Misalnya kelompok pencinta penyu, melindungi populasi penyu agar tidak punah, tetapi perlu ditanyakan, apakah kegiatannya itu didasari oleh rasa bhakti kepada Tuhan YME, serta untuk mewujudkan kesejahteraan umat manusia ?
TRIHITAKARANA, KAITANNYA DENGAN PANCA MAHABHUTA
Dalam Lontar “Buana Kosa” disebutkan bahwa tubuh manusia diciptakan oleh Yang Maha Esa dari unsur-unsur alam semesta yang disebut panca mahabhuta, yaitu: pertiwi, apah, bayu, teja, dan akasa.
Oleh karena itu pengertian panca mahabhuta ada dua, yakni panca mahabhuta yang berbentuk tubuh manusia disebut buana alit, dan panca mahabhuta yang berbentuk alam semesta disebut buana agung.
Analogi pemikiran Mpu Kuturan adalah: tubuh manusia sebagai stana sanghyang atma (Brahman) adalah sakral dan wajib dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian maka alam semesta juga wajib dijaga dan dipelihara, karena tubuh manusia (buana alit) adalah juga alam semesta (buana agung).
TRIHITAKARANA, KAITANNYA DENGAN “NYEPI”
Nyepi yang dilaksanakan oleh pemeluk Hindu-Bali setiap penanggal ping pisan sasih kadasa (tanggal satu bulan ke-10 menurut kalender Saka-Bali) dalam rangka merayakan tahun baru Saka, adalah salah satu pelaksanaan Trihitakarana.
Sehari sebelum Nyepi dilaksanakan upacara tawur kasanga (bhuta yadnya pada akhir bulan ke-9). Bhuta Yadnya dalam kaitan ini berarti “korban yang diadakan untuk memohon keseimbangan dan keharmonisan alam”.
Pada saat Nyepi, umat Hindu-Bali melaksanakan catur berata (empat pantangan), yaitu:
  1. Amati karya (tidak bekerja)
  2. Amati gni (tidak menyalakan api atau membakar sesuatu)
  3. Amati lelungaan (tidak bepergian)
  4. Amati lelanguan (tidak menghibur diri atau bersenang-senang)
Dengan demikian, aplikasi Trihitakarana dalam perayaan Nyepi terlihat dengan jelas, baik dari aspek parhyangan, pawongan, maupun palemahan:
  1. Aspek parhyangan terlihat di saat Nyepi, umat Hindu-Bali melakukan samadi, dan bersembahyang memuja kebesaran Ida Sanghyang Widhi.
  2. Aspek pawongan terlihat adanya kegiatan dharma santih, yakni saling berkunjung dan bermaaf-maafan.
  3. Aspek palemahan terlihat dari tujuan tawur kesanga seperti yang diuraikan di atas, dan dengan adanya catur berata, manusia tidak mengotori udara dengan gas-gas buangan hasil pembakaran atau dikenal dengan istilah emisi gas rumah kaca.



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar