Minggu, 06 Mei 2012

Pura Desa

Pura ini disebut dengan nama Pura Desa karena pura ini lazim ditempatkan di pusat desa yaitu pada salah satu sudut dari catuspata (perempatan agung).
Catus merupakan perubahan ucapan dari kata catur artinya tempat. Perubahan wianjana r menjadi s memang sering terjadi seperti dursila menjadi dussila menjadi susila, nirkala menjadi niskala dan lain-lain. Pata merupakan perubahan ucapan dari kata pada yang berarti dunia/alam. Dengan demikian catus pata adalah daerah bertemunya pengaruh yang datang dari empat buah slam yang ada di sekitar dunia ini (Timur, Selatan Barat dan Utara). Wujud nyata sebuah catus pata adalah jalan simpang empat atau perempatan.

Masyarakat tradisional Bali selaku kelompok masyarakat budaya dalam mengatur desa selaku daerah pemukiman dengan kelengkapannya seperti: pura, bale banjar, pasar, rumah, jalan, diatur dalam satu tata ruang. Filosofis pengaturan tata ruang tadi berdasarkan konsep catus pata dan luan teben, misalnya: pasar, wantilan, Pura Desa, rumah pembesar desa ditempatkan pada sudut-sudut dari catus pata.

Pura Desa menjadi tempat pusat kegiatan pelaksanaan upacara untuk kepentingan desa seperti upacara Ngusaba Desa, pasamuhan batara setelah upacara melis yang dilaksanakan sebelum upacara Panyepian. Pada beberapa daerah di Bali, Pura Desa disebut pula dengan nama Pura Bale Agung. Nama ini kemungkinan diambil dari nama bangunan Bale Agung yang terdapat pada bagian halaman pertama dari pura tersebut.


Pura Desa mempunyai denah yang terbagi atas tiga bagian, tetapi lebih umum denah pertama dan kedua digabung menjadi satu, sehingga tampak mempunyai dua denah yaitu : Jaba sisi (halaman pertama) dan jaba jeroan (halaman kedua). Kedua halaman dikelilingi dengan tembok dengan pintu masuk yang disebut candi bentar dan kori agung. Masing-masing halaman tersebut disertai dengan bangunan-bangunan dengan fungsi yang berbeda-beda. Mengenai jumlah bangunan-bangunan yang ada di halaman pertama dan kedua dari Pura Desa adalah berbeda-beda, tetapi pada tulisan ini dikemukakan bangunan-bangunan pokok yang harus ada pada setiap pura Kahyangan Tiga. Sebagai pedoman pendirian bangunan tersebut diambil dari hasil seminar kesatuan tafsir aspek-aspek agama Hindu yang pertama yang diselenggarakan di Amlapura pada tahun 1974.

Bangunan-bangunan minimal yang ada pada halaman pertama adalah sebagai berikut:

Candi Bentar.
Bentuknya belah dua yang berfungsi untuk pintu masuk ke halaman pertama dari pura. Untuk memasuki halaman kedua (jeroan pura) melalui candi kurung atau kori agung dengan berbagai macam bentuk variasi dan hiasannya.

Bale Kulkul.
Letaknya di sudut depan dari halaman pertama. Bentuk bangunannya dibuat tinggi sebagai menara dengan kulkul atau kentongan yang bergantung di atasnya. Fungsi dari kentongan berkaitan dengan pelaksanaan upacara seperti ketika nedunangbatara dan ketika nyimpen. Fungsi yang lain adalah sebagai tanda bahwa pertemuan antara krama pura akan segera dimulai yang membicarakan berbagai masalah tentang pura seperti : persiapan piodalan, rencana perbaikan pura dan lain-lainnya.

Bale Agung.
Bangunan berbentuk bale panjang dengan dasar bangunannya yang agak tinggi dan atapnya disangga beberapa buah tiang. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat pasamuhan (pertemuan) para batara ketika berlangsung upacara ngusaba dan setelah upacara mekiyis (upacara penyucian pratima dari batara).

Bale Gong.
Bangunan ini berfungsi sebagai tempat gamelan, yang ditabuh ketika upacara piodalan berlangsung untuk menunjang jalannya upacara di pura.


Sedangkan Bangunan yang terdapat pada halaman kedua (jeroan) dari Pura Desa adalah:

Sanggar Agung.
Bangunan ini disebut Pula dengan nama Sanggar Surya. Penempatannya pada bagian arah hulu dari denah jeroan pura. Bangunan ini pada bagian atas terbuka, yang berfungsi sebagai stana Hyang Raditya/ Hyang Widi.

Gedong Agung.
Bangunannya berbentuk gegedongan yang dibagi atas tiga bagian yaitu, dasar gedong, badan gedong dengan tembok keliling pada keempat sisi, sehingga pada badan gedong berbentuk sebuah ruangan. Ruangan ini dapat dicapai melalui pintu pada bagian sisi depan dari gedong. Bagian atap dari gedong dibuat bersusun dengan atap dari ijuk. Bangunan ini berfungsi sebagai stana Dewa Brahma, dalam wujud pratima dan tidak memakai laksana (ciri) Dewa Brahma sebagai lazimnya dalam seni arca.
Dalam seni arca Dewa Brahma biasanya digambarkan, berwajah empat yang menghadap ke semua arah mata angin, bertangan empat yang masing-masing memegang tasbih, cemara, kendi dan buah yang berbentuk bulat. Sakti dari Dewa Brahma bernama Dewi Saraswati dengan wahana angsa.

Ratu Ketut Petung
Bangunan berbentuk gedong berfungsi sebagai tempat pepatih atau pendamping dari Dewa yang berstana di pura tersebut.

Ratu Ngerurah
Bangunan dibuat berbentuk tugu yang berfungsi sebagai penjaga dan bertanggungjawab atas keamanan dari pura


Denah Pura Desa

Keterangan Denah
1
Gedong Agung.
2
Sedahan Penglurah.
3
Ratu Ketut Petung.
4
Sanggar Agung.
5
Bale Pawedan.
6
Pengaruman.
7
Kuri Agung.
8
Apit Lawang.
9
Bale Agung
10
Bale Gong.
11
Bale Kulkul.
12
Candi Bentar